Ilmu dulu baru adab. Emangnya tau dari mana suatu perbuatan/perilaku/tindakan itu adalah adab tanpa tahu ilmunya

Tapi dok, ilmu itu juga menjadi pendukung orang/manusia untuk semakin beradab. Kalau menurut saya yg sering berinteraksi dengan banyak orang (krn sy sales) semakin orang itu berilmu/cerdas semakin dia santun dan bertata krama. Bahkan dalam berbicara pun dia tidak banyak, seperlunya saja. Dan sangat paham timing kapan dia hrs bicara dan kapan dia hrs mendengar (membiarkan org lain menyelesaikan pembicaraannya dahulu). Dan biasanya orang2 cerdas itu cara dia mengkritiknya pun tdk menyakitkan hati

"Ta'addabu tsumma ta'allamu" itu terucap dr seorang sahabat yg tidak perlu diragukan lagi kepintarannya dan kesolihannya. Namun ucapat tersebut bukan berarti mana yang lebih dulu dipelajari/datang, ilmu apa adab? Tapi lebih ke penekanan bahwa kita dituntut untuk menjadi orang yang beradab lebih dulu dibandingkan menjdi orang yang banyak ilmunya. Tidak pasti orang banyak ilmu itu beradab tp orang beradab pasti berilmu, jangan sampai mentang2 dia pintar hingga kita hiraukan kelakuannya, contohnya.

Adab bagian dari ilmu, tanpa ilmu ng akan tau bagaimana caranya beradab. Ilmu ng harus dr bangku sekolah, ilmu adab banyak diperoleh dr hubungan sosial, hubungan sosial yg pertama dan paling dasar adalah ortu dan anak. Ortu mengajarkan ilmu tentang adab, sopan santun sejak anak dr dalam kandungan. Maka dr itu pentingnya seorg calon ibu menjaga adabnya sejak awal. Salah kalau memandang ilmu hanya dr pendidikan sekolah

Adab bagian dari ilmu, tanpa ilmu ng akan tau bagaimana caranya beradab. Ilmu ng harus dr bangku sekolah, ilmu adab banyak diperoleh dr hubungan sosial, hubungan sosial yg pertama dan paling dasar adalah ortu dan anak. Ortu mengajarkan ilmu tentang adab, sopan santun sejak anak dr dalam kandungan. Maka dr itu pentingnya seorg calon ibu menjaga adabnya sejak awal. Salah kalau memandang ilmu hanya dr pendidikan sekolah

Sebagai seorang psikolog, saya justru menyarankan Bapak membahas atau memberi ulas semisal pada kasus semacam ini dengan beberapa pendekatan kajian psikologi yang relevan. Sehingga kita tidak terus berkutat pada pembahasan parsial seperti yang Bapak simpulkan di slide terakhir. Bisa jadi, ini menurut saya, selama ini mengamati para pengulas yang cenderung hanya melihat permukaan, akhirnya komentar penyertanya juga mengikuti alur pengulas.